JIMBARAN (KORANJURI.COM) - Kerajaan Majapahit boleh sirna luluh lantak rata dengan tanah, namun di Jimbaran, Bali, kerajaan besar yang pernah ada di bumi Nusantara itu menjelma kembali dengan nama baru Puri Ibu Majapahit.
Puri Ibu Majapahit juga memiliki seorang raja yang bergelar Hyang Bathara Agung Wilatikta Brahmaraja XI atau yang disebut Raja Majapahit masa kini.
“Raja Majapahit sekarang atau yang biasa kami sebut dengan Eyang, punya tugas sesuai dengan yang diamanatkan leluhur. Beliau sekarang merupakan keturunan ke XI Raja Majapahit,” kata Gusti Raden Panji Noko Prawiro, seorang Pedanda Siwa di Pura Ibu Majapahit.
Hanya saja, Raja di jaman sekarang menurut Noko Prawiro, kiprahnya tetap mengikuti peradaban dengan segala kemajuan yang ada, atau tidak kaku seperti yang ada pada era kerajaan masa lampau. Seperti yang dilakukan Hyang Bathara Agung Wilatikta Brahmaraja XI, dikatakan Noko Prawiro, tetap lurus pada ajaran Siwa Budha dalam tata peribadatan. Siwa Budha merupakan keyakinan yang dianut masyarakat pada masa Majapahit lampau.
Kegiatan yang lain juga tampak pada upaya menyatukan persepsi dan penyamaan dalam visi kesukuan, agama, ras dan antar golongan.
“Kita wajib berbangga, karena perbedaan yang kita miliki kita menjadi kaya dan disitulah sebenarnya konsep penyatuan Nusantara di era Majapahit dulu. Hal itulah yang sering disampaikan Hyang Bathara Agung dengan memberikan wejangan kepada kami supaya kembali memahami arti perbedaan,” terang Gusti Raden Panji Noko Prawiro.
Pola penyatuan Nusantara dalam konsep Hyang Bathara Agung Wilatikta Brahmaraja XI, salah satunya menjalin silaturahmi antar raja-raja di seluruh Nusantara melalui Forum Keraton Seluruh Nusantara (FKSN). Menurut Noko Prawiro, kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara terikat pertalian sejarah yang tak pernah bisa dipisahkan.
“Banyaknya kerajaan pada masa itu tak lepas dari pergolakan politik yang ada. Satu saudara bisa saja saling bertikai dan yang kalah memutuskan keluar dari kerajaan kemudian membentuk kerajaan baru di luar. Meski begitu, sebenarnya raja-raja yang berkuasa tetap berasal dari satu keturunan, hanya terpisah jarak dan waktu saja,” kata Noko Prawiro.
Berpose di depan pintu ijin masuk ke keraton |
Pura Besakih sendiri dianggap sebagai pura tempat bersemayamnya leluhur keturunan Majapahit yang pernah hijrah ke Bali.
“Tahun ini sudah yang kesepuluh kalinya diadakan. Disana kami melakukan tapa brata penyepian tepat saat pergantian tahun, dimulai pukul 00.00 wita. Biasanya acara diisi dengan doa bersama untuk keselamatan dan kedamaian Nusantara,” kata Noko Prawiro.
Kegiatan itu biasanya juga dihadiri oleh berbagai organisasi kemasyarakatan yang berasal dari luar negeri. Gusti Raden Panji Noko Prawiro menuturkan, kisah kebesaran Majapahit masa lampau tidak hanya ada di Indonesia saja, di negara luar seperti, Singapura yang dulu merupakan kerajaan Tumasik, Thailand yang terkenal dengan kerajaan Swarnabhumi sampai negeri Cina sampai sekarang masih mengakui adanya kerajaan besar yang bernama Majapahit yang pernah mempersatukan Nusantara.
“Indonesia hanya sebagian kecil dari Majapahit. Tapi secara luas, negara-negara kerajaan di Asia sampai ke Cina masih sering berkunjung ke Puri Ibu Majapahit. Dari situlah hubungan multilateral masih terjalin dengan baik sampai sekarang. Mereka juga merasa pernah menjadi bagian dari Nusantara,” kata Gusti Raden Panji Noko Prawiro.
Pengalaman lain dari masa keemasan Majapahit juga dirasakan oleh Anak Agung Yudistira dari Puri Agung Dharma Giri Utama, Desa Biaung, Denpasar, saat dirinya berkungjung di bekas kerajaan Swarnabumi atau sekarang dikenal dengan negara Thailand.
Menurutnya, segala macam prasasti dan lontar-lontar yang menggambarkan Majapahit masih tersimpan di negeri Gajah Putih tersebut.
Ritual dan tradisi yang dilakukan sebagian besar masyarakat di Thailand juga hampir mirip dengan yang ada di jawa dan di Bali.
“Saya melihat aura kebudayaan dan tradisi adat di sana (Thailand, red) hampir mirip dengan yang ada di Bali dan Jawa. Dalam tradisi disana, ada juga ritual kirab pusaka yang diarak keliling kota,” terang Anak Agung Yudistira.
Raja Majapahit Bali
Konsep lain dari Hyang Bathara Agung Wilatikta Brahmaraja XI tentang raja dan kerajaan di masa sekarang adalah, raja bisa saja bukan berasal dari keturunan seorang raja dan raja bisa saja tidak memiliki kerajaan atau bertahta di kerajaan yang kecil seperti Puri. Dalam satu istilah dikatakan, raja diangkat tanpa serat sedawir atau tanpa selembar dokumen pun.
Inti yang terpenting dari seorang raja adalah bagaimana menciptakan suasana rukun, damai, sejahtera serta menjalin komunikasi yang baik dengan negara-negara luar sehingga tercipta kerukunan dan kemakmuran secara global.
Dari situ kemudian, ia mengangkat Raja Majapahit Bali pada tahun 2009 yang bergelar Sri Wilatikta Tegeh Kori Krisna Kepakisan I. Raja majapahit Bali ini diangkat dari seorang pemuda yang bernama I Gusti Ngurah Arya Wedhakarna yang merupakan rektor termuda yang menjabat di Universitas Mahendradatta, Bali dengan usia belum mencapai 30 tahun.
“Gusti Ngurah Arya Wedhakarna juga peraih gelar doktor termuda. Karena kemampuannya di bidang sains, Hyang Bathara Agung mengukuhkan sebagai Raja Majapahit Bali. Tugasnya adalah menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara luar, dan yang sudah dilakukan diantaranya dengan negara Rusia, Jepang,dan Australia,” jelas Gusti Raden Panji Noko Prawiro.
Dengan demikian, Raja Majapahit Bali itu bisa dianggap sebagai tangan kanan Hyang Bathara Agung Wilatikta Brahmaraja XI atau bisa juga disebut Gajah Mada-nya Majapahit era sekarang.
“Untuk menjalin hubungan diplomatic harus dilakukan oleh seorang ahli yang mampu melaksanakan tugas tersebut. Karena itu, beliau mengangkat Raja Majapahit Bali dalam upaya menyatukan dan menjaga Nusantara agar tetap bersatu serta menjaga teguh tradisi dan budaya yang ada,” terang Noko Prawiro.
Benda Pusaka
Melihat keberadaan Puri Ibu Majapahit lazim seperti tempat peribadatan umat Hindu Bali. Hanya saja, disitu seluruh umat beragama boleh melakukan persembahyangan, tanpa terkecuali. Gusti Raden Panji Noko Prawiro mengatakan, hal itu merupakan cerminan dari Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa yang jadi ikon persatuan di bumi nusantara.
Disitu terdapat replika Candi Siwa berupa meru tumpeng 9 yang merupakan perwujudan dari bentuk laki-laki yang memiliki 9 lobang. Kemudian dibelakang candi Siwa terdapat meru tumpeng 11 sebagai perwujudan bentuk perempuan yang memiliki 11 lobang. Meru tumpeng 11 ini juga disebut dengan Pagoda. Disitulah terlihat ajaran Siwa Budha yang dianut Majapahit masa lampau.
“Secara filosofis meru tumpeng 9 dan 11 adalah, siapa yang mampu menutup semua lobang yang ada akan menemukan kehidupan sejati. Menutup lobang artinya, menjaga indera dan menahan nasfu dari hal-hal yang bersifat negatif,” terang pria yang mendapat gelar kehormatan dari Keraton Mangkunegaran Surakarta sebagai Pembina Budaya ini.
Selain itu, benda-benda pusaka yang merupakan peninggalan di masa kerajaan majapahit juga masih tersimpan dan dirawat dengan baik. Diantaranya, keris Gajah Mada sepanjang 1,5 meter, keris Sapta Reshi, Keris Mpu Gandring, keris Singobarong, Keris Kala Srenggi, bahkan keris Sam Poo Kong, termasuk lontar-lontar yang berkisah tentang kebesaran Kerajaan Majapahit juga tersimpan di Puri Ibu Majapahit.
Menariknya, upaya mendapatkan benda-benda pusaka berumur ratusan tahun itu terkadang dilakukan secara tidak sengaja.
“Semua pusaka itu berpasang-pasangan. Kalau disini sudah ada satu, tiba-tiba saja ada kolektor yang datang kemari membawa pusaka yang lain dan ketika dipasangkan, kok bentuknya sama persis dengan jumlah luk juga sama,” terang Noko Prawiro.
Pria yang tak pernah lepas dari sarung warna putih dan ikat kepala ini melanjutkan, adakalanya benda pusaka yang kehilangan pasangannya itu dipinjam orang, dan ketika dikembalikan sudah ada pasangannya.
“Tentu saja yang meminjam juga orang yang mampu ‘membawa’ keris itu, tidak boleh sembarangan orang. Biasanya pusaka dibawa untuk suatu keperluan tapi seringkali malah mampu menarik pasangannya,” katanya demikian.
Hingga sekarang, Puri Ibu Majapahit sering dikunjungi oleh semua kalangan masyarakat di Nusantara bahkan mancanegara. Pelajar dan mahasiswa pun juga sering mendatangi Puri itu untuk sekedar mengetahui dan mempelajari arti penting di balik peninggalan kejayaan nusantara.
(way)
......Selengkapnya